Kaki Kuda Dan Cerita Lain
- Judul : Kaki Kuda dan Cerita Lain
- Pengarang : Akutagawa Ryunosuke
- Penerjemah : Armania Bawon Kresnamurti
- Penerbit : Mai / CV. Haru
- Tahun : 2021
- ISBN : 978-623-7351-73-3
“Kaki Kuda dan Cerita Lain” ialah buku berisi enam kelompok cerita kreasi sastrawan legendaris asal Jepang Akutagawa Ryunosuke. Buku ini jadi kreasi terbitan ke-3 dari Penerbit Mai yang khusus mengeluarkan beberapa karya penulis Jepang. Ke enam kelompok ceritanya yakni “Rashomon”, “Hidung”, “Benang Laba-Laba”, “Kaki Kuda”, “Bubur Ubi”, dan “Dalam Semak Belukar”. Ke enam cerita itu mengarah pada satu benang merah: keresahan-keresahan manusia.
Walau absurd dan sulit untuk dipikirkan, keresahan-keresahan yang muncul ke arah penuntasan dapat disebut simpel hingga gampang jadi bahan refleksi. Pembaca dibawa turut risau dengan seorang samurai berkasta rendah yang ambil baju seorang nenek tua. Risau ada saat si Pendeta ingin membenahi hidungnya yang tidak normal. Atmosfer sama datang karena seorang karyawan lelaki hidup lagi yang kakinya terpindahkan dengan kaki kuda.
“Hati manusia selalu penuh paradoks. Mereka gampang memiliki empati ke kesengsaraan orang lain, tapi juga kurang suka bila orang itu sukses menangani kesusahannya dengan kerja keras. Kesuksesan orang lain, entahlah bagaimana, secara sembunyi-sembunyi memunculkan kebencian pada diri manusia.” (hlm. 37)
Walau ke enam cerita pada “Kaki Kuda dan Cerita Lain” memberi beberapa poin refleksi, saya pilih tiga untuk kujabarkan bagaimana keresahan-keresahan yang dikreasikan oleh pengarang hasilkan bahan refleksi. Berikut ke-3 nya.
Cerita “Rashomon” terpusat pada jalur kepribadian seorang samurai berkasta rendah disebutkan Genin yang awalannya tidak mau melakukan perbuatan jahat tetapi usai mencuri kimono (baju tradisionil Jepang) seorang wanita tua. Sang Genin melakukan sesudah menyaksikan sang wanita tua mengambili rambut seorang mayat untuk tetap bertahan hidup yang keliatannya itu tindak jahat. Begitu peralihan kepribadian sang Genin terjadi sesudah menyaksikan tindakan sang wanita tua membuatku terpikir akan verifikasi dan laris “ikutan” manusia. Walau pemikiran larang sebuah perlakuan atas dasar kepribadian, jika ada orang lain yang melakukan terlebih dahulu, akan muncul rasa ingin melakukan juga—apalagi bila keadaan dan keadaannya telah tertekan.
“Hidung” bercerita seorang pendeta yang risau karena mempunyai hidung menjuntai sejauh 15 cm. Pasti dia berasa biasa saja awalnya sampai beberapa orang ketawa cekikikan saat berpapasan dengannya. Dia pada akhirnya mengutus siswanya untuk cari pengetahuan memperkecil hidung sampai hidung si pendeta berbeda selayaknya. Sayang, diakhir, si pendeta tidak senang dengan hidung ‘normal’-nya. Kegelisahan si pendeta demikian dekat. Olokan selalu tiba dari mereka yang dipandang tidak ‘normal’ oleh manusia secara umum.
Cerpen “Kaki Kuda” lebih aneh karena tampilkan seorang pria yang punyai raga manusia tetapi berkaki kuda karena kekeliruan seorang dokter. Buatku, si pria yang sampai harus sembunyikan kaki ‘berbeda’-nya dari istri dan beberapa orang sekelilingnya itu mencirikan tanggungan noda yang perlu tertutupi. Ketidaknormalan itu membuat risau si figur khusus sampai dia perlu waspada dalam tiap arah jalannya. Cerita ini mengingati jika beberapa orang dengan kekuasaan atau pengetahuan tinggi tidak langsung akan memberi dampak positif. Malah, mereka pembuat kesengsaraan untuk beberapa orang di bawahnya atau beberapa orang yang mereka layani.
“Hanzaburo masukkan rokok linting ke mulutnya dan menyeret korek api, mukanya jatuh di atas meja lalu dia wafat saat itu juga. Langkah mati yang demikian tiba-tiba. Untungnya, warga tak pernah meributkan langkah orang wafat. Langkah orang hiduplah yang malah memetik perkataan. Karena itu, Hanzaburo selamat dari perkataan dan kritikan beberapa orang.” (hlm. 55)
Tiga cerpen bekasnya juga sama menggelisahkannya. “Benang Laba-Laba” membuatku bertanya bagaimana rupa akhirat kelak. Haruskah saya memanjat tali yang disebut benang laba-laba seperti sang Pendosa untuk capai surga? “Bubur Ubi” bercerita seorang yang bermimpi dapat nikmati bubur ubi sepuasnya. Saat tahu akan dipenuhi dengan yang didambakannya, rasa kuatir ada karena dia berasa tidak mempunyai mimpi lain. Mistis pembunuhan seorang wanita pada cerpen “Dalam Semak Belukar” bahkan juga buat frustrasi. Siapakah pembunuh sang wanita dan mana versus cerita yang betul dari tindak bengis itu?
Selainnya mengenai kegelisahan, sebenarnya beberapa cerita dalam buku ini pahami sudut pandang manusia. Contoh paling jelasnya ada di “Rashomon” dan “Dalam Semak Belukar”. Disaksikan di luar, sang Genin kemungkinan kelihatan biadab kepribadian karena berani mengambil yang kurang kuat. Tetapi, dari pemikiran sang Genin, dia cuma ingin bertahan hidup dari cuaca dingin yang mematikan apakah yang dilaksanakan oleh sang wanita tua. “Dalam Semak Belukar”-lah yang menguraikan hal sudut pandang secara jelas. Cerita ini dibikin dari beragam pemikiran dengan urutan pembunuhan yang berbeda. Bila saya yang tangani kasus ini, saya kemungkinan telah angkat tangan.
Buku ini hanya 151 halaman—itupun ditambahkan halaman glosarium dan identitas penulis dan penerjemah—tapi berasa demikian penuh. Hasil translate-nya yang bagus membuat buku ini sangat mudah dibaca, hingga gampang untuk menjadi bahan refleksi.
Beberapa cerita asal Jepang kelihatannya selalu memberi aftertaste yang aneh. Jika dibanding dengan cerita asal Barat yang sering memberi dengan jelas hitam-putihnya (mana sang baik, mana sang jahat, dan bagaimana pembaca secar jelas dapat ambil pelajaran dari cerita itu), kreasi cerita Jepang berasa lebih sulit dan berkesan abu-abu. Pembaca perlu memeras otak untuk membikin ringkasan sikap sang figur itu salah atau benar. Atau, kemungkinan ini sebenarnya simpel: pembaca perlu nikmati keberagaman sikap dan nilai setiap pribadi.
“Dia sering jadi gurauan untuk beberapa orang, bahkan juga bocah nakal di Kyoto memaki-makinya dengan pengucapan, ‘Apa kau! Dasar hidung merah!’, dia terlihat memilukan dan kesepian dalam bebatan kimono suikan sirna dan celana sashinuki, berseliweran di Jalan Raya Suzaku seperti anjing daerah gelandangan. Tetapi, di saat bertepatan, dia menyaksikan figur dianya yang berbahagia; seorang diri memiara mimpi melahap bubur ubi sepuasnya.” (hlm. 122 – 123)
Komentar